Follow Me @nilamodang

Saturday 29 April 2017

Allah Bekerja Baik, Ia Memberi Lebih

07:17 0 Comments
Jika kebanyakan orang di Indonesia mengatakan bahwa kota yang paling romantis di Indonesia ialah Bandung atau Bali, bagiku kota itu ialah Jogja. Bersama Jogja, semua kenangan tersimpan rapi. Di setiap sudutnya.

Salah satunya ialah kenangan tentang dia. Iya, tentu saja ini cerita tentang dia.

Jujur saja, tak banyak kenangan yang tersimpan rapi di Jogja dengannya. Hanya pertemuan singkat di warung lontong sayur yang mengusung salah satu nama kota di Indonesia. Tak banyak cakap, tak banyak tawa. Hanya berkenalan, makan, bercerita sekedarnya, dan pulang.

Ia adalah teman dari temanku yang sama-sama tinggal di Sumatera Barat dan melanjutkan sekolah pascasarjana di Kampus Biru, Gadjah Mada. Waktu itu, temanku bercerita bahwa dia mempunyai seorang teman yang juga berasal dari Padang dan berniat untuk mengenalkan kami. Aku sih tidak keberatan, karena aku tak pernah menolak untuk menambah teman, apalagi sama-sama berasal dari kota yang sama dan mempunyai misi yang sama di kota rantau yang juga sama.

Perkenalan itu tanpa aba-aba. Tiba-tiba saja ada lelaki yang invite Path-ku. Aku tidak kenal dan aku pending untuk menerima undangan pertemanan itu. Selang beberapa jam, temanku memberi tahu lagi bahwa temannya itu ingin kenalan denganku. Kemudian aku memastikan bahwa yang di Path itu adalah temannya. Iya, ternyata itu temannya. Satu kata yang terlintas waktu melihat fotonya. Ganteng.

Kemudian, temanku itu meminta izin untuk share nomor handphone-ku dengan dia. Belum sempat aku melarang, ternyata nomor itu sudah di tangannya. Aku mau marah tapi ya gimana. Sudah terlanjur. Tak lama kemudian, dia menghubungiku lewat WhatsApp. Aku ladeni juga dengan senyum sumringah. Si labil memang.

Pertemuan Pertama.
Aku sudah mengambil posisi di salah satu meja di warung itu. Dengan temannya yang duduk di seberangku. Selagi menunggu kedatangannya, aku menyibukkan diri entah dengan handphone-ku atau bercakap dengan temanku ini. Iya, karena aku sedang menyembunyikan grogiku. Sebentar lagi aku bertemu dengannya. Lelaki yang difoto Path atau profil WhatsApp-nya terlihat ganteng itu.

Kami berkenalan. Kemudian dia kembali bercerita dengan teman kami itu. Mendengar dia bercerita, aku tau dia orang yang pintar dan berkeinginan keras. Semakin saja aku minder dengannya.

Pertemuan Kedua.
Masih di warung lontong sayur. Tapi kali ini lontong sayur padang. Entah apa yang membedakan lontong sayur satu kota dengan kota lain. Sama-sama ada ketupat dan sayur yang dikuah santan. Ah sudahlah, bukan itu perkaranya.

Kali ini aku lebih rileks. Sudah aku anggap teman sepertinya. Sempat aku melihat ada foto seorang perempuan di lock screen handphone-nya. Kemudian aku mbathin "ooh, dia sudah punya pacar rupanya".

Pertemuan kedua sebatas itu. Tidak ada memori lain yang terekam jelas di benakku.

Kami tak sering berkomunikasi dan bertemu kala itu. Tak banyak interaksi. Mungkin karena sama-sama sibuk dengan kehidupan masing-masing.

Dia baru sering muncul sejak awal tahun 2017. Aku memang tak banyak pikir. Entah karena sifat tidak peka dan cuekku, atau memang ia hanya sekedar membunuh waktu dari jeratan pengangguran.

Sebulan setelah kelulusanku, 19 Februari 2017, ia menghubungiku lewat WhatsApp. Masih sama, aku tak banyak pikir dan mengira dia ingin mengajak bertemu karena saat itu aku sedang di Padang. Hari berganti hari, WhatsApp itu terus berlanjut. Bahkan telfon tiap malam yang jarang absen pun telfon ketika dia sedang di kantor. Panggilan pun berubah dari uda-uni-ambo, menjadi bapak-ibu, dan berganti lagi menjadi aku-kamu. Kode-kode lain dari dia yang membuat aku selalu mbathin "iki orang ngopo sih?" atau "waduh, ini orang kalo begini terus iman ku bisa goyah" .

Aku sebenarnya tau dia sedang mendekatiku. Bukan geer, tapi terlihat dari setiap gerak-gerik yang ditunjukkannya dari cara menghubungiku. Tetap saja saat itu aku masih mengelak, takut jika ternyata ia hanya sedang mempraktikkan sifatnya yang fenomenal pada masanya.

Kira-kira seminggu setelah WhatsApp dengannya yang tidak pernah putus, aku mengirimkan foto dia ke mama, juga melalui Whatsapp. Maksudku adalah untuk menanyai pendapat mama mengenai dia. Keputusanku pada saat itu ialah jika mama berpendapat negatif mengenainya, aku akan langsung menjauh. Maklum, trauma masa lalu karena menjalani hubungan dengan pria yang tidak direstui oleh orang tua.

Ajaib! Mama setuju aku dengannya hanya karena melihat fotonya. Entah apa yang terpancar di wajahnya pada foto itu sehingga mama langsung menyetujuinya. Tentu saja mama menilai dari fisiknya, dari image anak baik-baik yang terpancar dari wajahnya, dan pekerjaan dia sebagai dosen. Ah sudahlah, menurutku memang apa yang ada pada dirinya itu ialah kriteria yang selalu mama panjatkan melalui doanya kepada Allah. 

Ganteng, orang baik, sayang sama aku, bisa dibanggakan ke keluarga besar, bertanggung jawab, dan sederetan kriteria positif lain mengenai jodohku yang telah ditetapkan mama jauh-jauh hari.

Beberapa hari setelah bercerita ke mama, aku bertanya kepada temannya yang juga merupakan temanku mengenai dia. Tentu saja temannya ini menyetujui, karena notabene mereka adalah teman dekat, dan temannya ini menilai bahwa dia adalah lelaki baik-baik. Wanita baik-baik pantas untuk mendapatkan lelaki baik, katanya. Tapi aku tetap menyatakan ketakutanku untuk memulai hubungan dengan orang baru karena kejadian yang masih melekat di pikiran dan masih menyisakan luka di hati. Namun, temannya ini menyarankan untuk menjalani dengannya dulu.

Minggu berikutnya, ketika sedang di tempat gym, mama menghubungiku, menanyakan perihal keberlanjutan hubunganku dengan dia. Pertanyaanpun semakin intim, asal dari mana, bagaimana keluarganya, apa pekerjaan orang tuanya, apakah dia sudah punya pacar dan entah apalagi pertanyaan tentang keluarganya yang tentu saja tidak bisa kujelaskan dengan baik. Yang membuatku kaget adalah mama menyuruhku untuk meresmikan hubungan kami, berdoa ia adalah jodohku, dan meminta kalau bisa tahun depan kami sudah menikah.

WHAT?!

Secepat itukah mama menilai hal baik tentang dirinya dan mengizinkanku untuk menjalani hubungan ke tahap yang lebih serius dengan pria yang baru aku kenal? Tapi ya sudahlah, aku yakin dengan firasat seorang ibu.

Seminggu berikutnya, aku masih menjalani hubungan yang bisa dikategorikan semakin dekat. Kodenya untuk menjalani hal yang serius denganku semakin terasa. Bahkan di waktu sibuknya, dia masih meluangkan waktu untuk menghubungiku. Sebelum dia tertidur pulas, dia sempatkan untuk mendengar suaraku hingga akhirnya kantuk tak lagi bisa ia tahan.

Sabtu, 18 Maret 2017
Aku sedang berada di rumah sepupuku saat itu dan kebetulan kami malam mingguan. Aku bercerita kepada beliau mengenai mantanku yang disuruh putus oleh mama karena penampilannya yang urakan. Sepanjang jalan aku hanya ditertawai olehnya. Istrinya memberi petuah dan menyenangkan hatiku. Kasian ya, kalau nanti dia udah kerja, mapan, dan penampilannya udah baik, pasti mamamu mau. Kan dia orangnya baik, katanya.

Aku iyakan saja meskipun memang sudah tidak ada lagi pengharapan di diriku mengenai mantanku itu sejak dia intens menghubungiku dan menunjukkan sinyal keseriusan dengan diriku.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita kepada mereka mengenai lelaki yang sedang mendekatiku ini. Aku lihatkan foto profil WhatsApp-nya sontak uni berseru. Udah nilam, sama yang ini aja. Ganteng loh. Pasti mama nilam seneng sama yang ini. Jelaslah orang dia rapi banget gini. Mana dosen lagi!

Aku bingung. Uda juga bingung. Kurang dari tiga puluh menit yang lalu, uni menenangkanku mengenai mantanku. Kemudian setelah kuperlihatkan foto lelaki ini, mantanku langsung disingkirkan. Memang ya, wanita ga tahan kalau liat cowok ganteng. Ups!

Minggu, 19 Maret 2017
Dia menelfonku pagi itu, aku lupa apa yang kami bicarakan saking seringnya kami telfonan. Yang aku salutkan adalah dia berani menelfonku cukup lama meskipun aku sedang bersama saudaraku.

Siangnya, setelah tidur siang, aku tidak tahu mengapa tepat setelah aku terbangun, aku langsung menghubunginya via telfon. Sampai-sampai dia menanyaiku "kamu baru bangun ya? suaramu masih serak. kok langsung nelfon aku". Aku mati kutu ditanyai seperti itu bahkan aku ikutan mbathin "iya ya, kok aku nelfon dia?". Tapi aku lupa jawaban apa yang aku berikan untuk membela diri.

Pembicaraan semakin menjurus untuk menjalin hubungan denganku. Namun, aku masih tidak mau menangkap kode darinya. Hingga akhirnya dia melontarkan statement untuk minta izin masku, yang notabene adalah teman dekatnya yang memperkenalkan kami. Katanya, dia akan menghubungi masku setelah sholat maghrib.

Aku memberi tahu kepada masku bahwa dia akan menghubungimya. Aku kira hanya main-main, atau hanya sekedar meminta pendapat masku mengenai aku. Ternyata lebih dari itu. Dia memang meminta izin untuk menjalin hubungan denganku. Takjub? Iya. Aku ga berhenti senyum-senyum waktu dikirimi screen shoot oleh masku mengenai chat mereka.

Pada saat itu pula lah, aku menghubungi mama dan meminta izin untuk menjalin hubungan dengan dia. Aku menjelaskan kemungkinan keseriusan dia denganku. Dan mama mengizinkan dan merestui (calon) hubungan kami.

Setelah itu, kami kembali telfonan. Dia bertanya "kamu mau ga sama-sama memulai semuanya dari awal sama aku?". Aku di kala itu hanya senyum-senyum saja. Tak tahu jawaban apa yang seharusnya aku jawab meskipun itu hanyalah Yes or No Question. Akhirnya aku jawab "Insya Allah". 

Ia tidak puas dengan jawaban itu. Menurutnya Insya Allah di zaman sekarang lebih condong ke tidak. Aku sudah grogi dengan dia, malah di tempatkan di keadaan yang membuatku semakin grogi. Aku alihkan terus-terusan sampai akhirnya beberapa menit kemudian aku jawab "iya, insya Allah mau".

Dia masih belum puas. "mau apa?" katanya. Sumpah orang ini belum apa-apa sudah ngajak berantem. Aku masih grogi dan dia masih saja terus mendesak. "Memang jawabanku belum jelas?" batinku. Akhirnya aku jawab juga "Iya, insya Allah mau untuk sama-sama memulai semuanya dari awal sama kamu."

Sesederhana itu. Komitmen kami di awal bukanlah seperti roman picisan remaja lainnya. Karena memang usia kami bukan remaja lagi. Sudah seperempat abad. Komitmen kami adalah untuk membawa hubungan ini ke arah pernikahan, berjuang sama-sama dari awal, berbekal dengan restu yang telah diberikan oleh mamaku.

Kalau kamu tanya apakah aku bahagia, jawabannya iya. Kamu tahu? Aku sudah seperti orang yang sangat hopeless waktu itu. Sudah tidak ingin mempercayakan hatiku dengan orang lain. Sudah lelah rasanya merasakan sakit karena putus hubungan, apalagi dengan alasan yang tidak make sense.

Tapi, dia datang. Aku percaya dia datang karena doaku yang kupanjatkan waktu itu sambil bersimbah air mata. Aku percaya dia datang karena doa mama mengenai jodohku. Aku percaya dia yang terbaik yang diberikan Allah kepadaku. Meskipun terlalu dini untuk mempercayainya, i really dont find any reasons that he's not serious to me even if he's the most annoying person on Earth! 

Sesederhana itu aku mempercayai bahwa dia adalah yang terbaik untukku. Karena dia datang karena Allah di saat semua doa dipanjatkan.

Terima kasih Allah.
Terima kasih Jogja.
Terima kasih WhatsApp.
Protected by Copyscape Duplicate Content Penalty Protection